Jumat, 03 September 2021

Literasi Singkat Dampaa : Dampal Dalam Lintasan Budaya.

Berbicara mengenai Dampaa tentunya tidak terlepas dari salah satu daerah yang berada di pesisir selat makassar bagian barat pulau Sulawesi.  Laut Sulawesi pada masa Bangsa Portugis berhasil menguasai Bandar Malaka membuat beberapa pedagang dan pelayar Melayu dan Mindanao memutuskan untuk berlayar menuju Bandar Makassar melalui Selat Sulawesi.  Sebaliknya banyak pelayar maupun pedagang dari Makassar mengambil Jalur alternatif  lain demi menghindari Bandar Maluku yang telah dikuasai VOC. Maka Selat Sulawesi menjadi lalu lintas pelayaran dan perdagangan menuju Sulu, Mindanao. Hal ini di kuatkan oleh Warren dalam M. Amir menegaskan bahwa keberhasilan VOC menaklukan Makassar (1667-1669) dan kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah Maluku, tidak memudarkan semangat pelaut dan pedagang dari Jazirah selatan Sulawesi dengan Mengalihkan kegiatannya ke pusat perdagangan lain, seperti Banjarmasin, Kutai, Riau, Semenanjung Malaka dan Sulu.[i]

Aspek historisnya adalah pada abad ke-14 yaitu sekitar 1520-1619 terdapat suatu kerajaan di wilayah Dampal yang dikenal dengan Kemaradiaan Dampal yang dipimpin oleh Maradia. Ini menarik bahwa ternyata kerajaan ini telah berdiri pada abad tersebut.[ii]Kemudian dalam sejarah kerajaan Tolitoli disebutkan pula tentang raja yang memerintah di negeri Dampaa kala itu bernama Imbasesoeg yang memerintah di kerajaan Dampal. Perlu penelitian dan pengkajian lebih dalam apakah maradia dan raja Imbasessoeg adalah orang yang sama atau berbeda. Disini terlihat jelas bahwa tingkat peradaban penduduk lokal pada masa itu telah cukup tinggi dalam sistem pemerintahan.

Dalam struktur pemerintahan adat Negeri Dampaa memiliki bagian-bagian  tingkatan nya yakni, Marinu, Kapita Laut, Jogugu, Ukum, kemudian Maradia Maisi dan Maradia Malolo. Pernyataan Pemangku Adat Suku Dampal dalam Laporan Hukum Adat Suku Dampal adalah  suatu hal yang krusial menurut saya karena isi pernyataan itu adalah

1.    Terjadinya asimilasi antar etnis dampal dengan etnis lain yang hadir di dampal yang cenderung akan mempunyai budaya dominan terhadap kultur masyarakat suku dampal.

2.    Hilangnya jati diri Suku Dampal terhadap budayanya sendiri, khususnya yang berkenaan dengan bahasa daerah (bahasa dampal) yang sudah berkurang penuturnya.

3.      Tidak diberdayakannya hukum adat suku dampal secara turun-temurun dan berkelanjutan.

Pada catatan kolonial Belanda selalu menyinggung bahwa dampal merupakan bagian dari kerajaan Tolitoli sementara dalam tulisan Sofyan tentang sojol melawan belanda menjelaskan adanya bala bantuan dari penguasa Dampal untuk membantu kerajaan Sojol menghadapi kolonial belanda. Kemudian Tulisan Prof Juraid Menegaskan bahwa pada era pra kolonial masyarakat Tolitoli umunya hidup secara terpisah dalam kekuasan-kekuasaan yang otonom. Dondo Dampal terpisah dari kekuasaan raja tolitoli. Tetapi penetrasi pengaruh dari luar mendorong integrasi daerah dan kekuasaan.[iii]Sampai disini telah jelas bahwa kerajaan Dampal telah menjadi bagian dari kerajaan Tolitoli yang sebelumnya berdiri secara otonom.

Terlihat bahwa daerah otonom Dampal menyatu dalam Kerajaan Tolitoli  ketika Wafatnya Sultan Tolitoli maka daerah Lais, Malomba, Tinabogan, Salumaraja ( bahasa lokal Ogodeide), dan Dampal  sebagai bentuk belasungkawa diberikan kain putih, Beras dan uang dimana mereka juga menyampaikan ketundukannya pada Sultan (Sumber Nota Betreffende het Landschap Tolitoli). Perlu kajian lebih lanjut mengenai sumber Belanda ini dari segi pemberian kepada kerajaan tolitoli. Tentunya berhubungan dengan jalur rempah dan alternatif  yang dilakukan para pelayar dan pedagang pada masa itu.

Menurut cerita dari sumber lain mengatakan bahwa Dampal bahwa keberadaan etnis dampal itu pada tahun 1600-an. Pendapat ini tentunya tidak memiliki kekuatan dan dasar yang jelas. Mengapa, karena daerah ini telah dihuni berabad lamanya sebelum pendatang dari Jazirah Sulawesi bagian selatan berlayar dan menetap di dampal.  Sebut saja etnis Lauje dan Pendau yang ikut mewarnai sistem masyarakat di pesisir pantai teluk dondo. Suku Lauje yang sering berpindah-pindah mencari lahan baru membuat mereka melakukan perjalanan lagi menuju gunung sojol. Seperti yang kita ketahui bahwa etnis lauje memiliki tradisi tersendiri dalam membuka lahan baru  dan apabila lahan itu dirasa tidak dapat memberikan kehidupan lagi maka mereka berpindah tempat yang sebelumnya melakukan ritual adat dengan kepercayaan mereka akan togu petu, togu ogo dan togo pomoyane.

Etnis Tolitoli dan Dondo juga telah menghuni daerah ini sebagai identitas orang-orang lokal yang masih menjaga kearifan budayanya. Sistem menempati sebuah negeri dari hulu ke hilir bukanlah hanya cerita dongeng semata melainkan sistem ini telah terjadi sekitar beribu-ribu tahun yang lalu dan membentuk peradaban pesisir pantai. Anggapan lain yang mengatakan bahwa penduduk lokal tidak memiliki peradaban yang baik itu hanya sebuah argumen yang tidak memiliki dasar yang cukup kuat sebab bagi penulis dalam setiap daerah pasti memiliki peradaban masing-masing  tentang bagaimana membentuk dan mengatur masyarakatnya. Sistem keadatan misalnya telah hadir di setiap daerah dan memiliki ciri khas tersendiri begitu pula yang terjadi pada masyarakat adat dampal dengan budayanya. Jadi, mengapa musti enggan dan merasa malu apalagi minder untuk mengangkat budaya lokal sebagai jati diri dan identitas anda sebagai salah satu suku yang ada di provinsi Sulawesi Tengah.

    Kenyataannya masyarakat adat suku dampal dahulunya telah menghuni Jazirah Pantai Barat Sulawesi Tengah dan memiliki kebudayaan sendiri.  Harfiahnya Dampal berasal dari kata “Dampaa” yang berarti dataran luas.  Masyarakat adat suku Dampal menyebar dimulai dari Utara hingga selatan Dampal. Dikutip dalam buku laporan pendataan hukum adat dondo  bahwa Penyebaran masyarakat Dampal yang demikian luasnya dapat dilihat dari wilayah yang didiami serta berdasarkan tolak ukur tuturan bahasa sehari-hari yang notabene menggunakan bahasa dampal. Dapat memberi arti bahwa sejak dahulu kala pernah ada dominasi yang begitu kuat dari masyarakat adat Dampal terhadap wilayah yang didiami oleh masyarakat adat Dampal.

Sekedar Refleksi

Hemat saya adalah Bahasa dan Budaya ini mulai tergerus oleh zaman jika tidak mendapatkan pertolongan pertama maka bisa jadi tak tertolong lagi.  Ibaratnya sebuah bentuk konkrit yang ada akan tetapi sejarah dan budayanya telah hilang akibat tergerus oleh yang konon katanya bahasa dan budaya modern. Tentunya sebagai para pemuda yang terlahir dari rahim seorang ibu dampal perlu kiranya untuk melestarikan bahasa dan budaya bahasa Dampal.

Perlu kiranya sebuah pertimbangan khusus untuk memenuhi harapan rekonstruksi kembali bahasa dan budaya Dampal melalui kamus bahasa, peremajaan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat etnis dampal, dan pelestarian budaya sebagai bentuk cagar budaya tak benda. Kesemua ini tentu berangkat dari keinginan dan langkah pemuda daerah etnis dampal dan jangan menunggu bola untuk bergerak. Dengan begitu bahasa lokal masuk dalam pembelajaran muatan lokal disekolah-sekolah sehingga revitalisasi bahasa dan budaya dampal tercapai.

Akhir kata melalui narasi ini penulis ingin menyampaikan sebuah rasa prihatin kepada pemuda etnis dampal yang enggan untuk berbahasa lokal. Sementara di era sekarang pemerintah lebih cenderung memfokuskan programnya di bidang kebudayaan.  Maka jadikan momentum kebudayaan nasional yang di adopsi langsung dari kebudayaan lokal untuk kembali menghadirkan bahasa dan budaya dampal sebagai identitas dan harus bangga menggunakan bahasa lokal itu demi menjaga kearifan lokal.

Dilarang Untuk Mengcopy Paste Tulisan ini tanpa mencantumkan Sumbernya (Budayakan Untuk Mencantumkan Sumber).

Penulis : MOHAMMAD ZASRIANSYAH, S.Pd  (Founder/Ketua Komunitas)


[i] Muhammad Amir, 2019, Pelayaran Niaga Mandar Pada Paruh Pertama Abad ke-20.

[ii] Usman Suhudin DKK, Laporan Hasil Pendataan Hukum Adat Waris Suku Dampal Kab. Tolitoli

[iii] Djurait Abdoel Latif, Pemberontakan SI Salumpaga, Tolitoli 1919

Sumber :

1.   Muhammad Amir, 2019, Pelayaran Niaga Mandar Pada Paruh Pertama Abad ke-20. Walasuji, Makassar.

2.   H. Usman Suhudin DKK, 2006, Laporan Hasil Pendataan Hukum Adat Waris Suku Dampal Kab. Tolitoli. Perpusnas RI

3.    Djurait Abdoel Latif, 1996, Pemberontakan SI Salumpaga, Tolitoli 1919, Tesis, Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM

4.       S. Van Ronkel, Nota Betreffende het Landschap Tolitoli

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Olongian Kaleolangi dan Ogoamas

  Beliau tinggal dan menetap di Bou   yang pada zaman dahulu merupakan pemukiman masyarakat. Olongian ini terlahir dengan kesederhanaan beli...