Berbicara mengenai Dampaa tentunya tidak terlepas dari salah satu daerah yang berada di pesisir selat makassar bagian barat pulau Sulawesi. Laut Sulawesi pada masa Bangsa Portugis berhasil menguasai Bandar Malaka membuat beberapa pedagang dan pelayar Melayu dan Mindanao memutuskan untuk berlayar menuju Bandar Makassar melalui Selat Sulawesi. Sebaliknya banyak pelayar maupun pedagang dari Makassar mengambil Jalur alternatif lain demi menghindari Bandar Maluku yang telah dikuasai VOC. Maka Selat Sulawesi menjadi lalu lintas pelayaran dan perdagangan menuju Sulu, Mindanao. Hal ini di kuatkan oleh Warren dalam M. Amir menegaskan bahwa keberhasilan VOC menaklukan Makassar (1667-1669) dan kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah Maluku, tidak memudarkan semangat pelaut dan pedagang dari Jazirah selatan Sulawesi dengan Mengalihkan kegiatannya ke pusat perdagangan lain, seperti Banjarmasin, Kutai, Riau, Semenanjung Malaka dan Sulu.[i]
Aspek historisnya adalah pada abad ke-14 yaitu sekitar 1520-1619
terdapat suatu kerajaan di wilayah Dampal yang dikenal dengan Kemaradiaan
Dampal yang dipimpin oleh Maradia. Ini menarik bahwa ternyata kerajaan ini
telah berdiri pada abad tersebut.[ii]Kemudian
dalam sejarah kerajaan Tolitoli disebutkan pula tentang raja yang memerintah di
negeri Dampaa kala itu bernama Imbasesoeg yang memerintah di kerajaan Dampal.
Perlu penelitian dan pengkajian lebih dalam apakah maradia dan raja Imbasessoeg
adalah orang yang sama atau berbeda. Disini terlihat jelas bahwa tingkat
peradaban penduduk lokal pada masa itu telah cukup tinggi dalam sistem
pemerintahan.
Dalam struktur pemerintahan adat Negeri Dampaa memiliki
bagian-bagian tingkatan nya yakni,
Marinu, Kapita Laut, Jogugu, Ukum, kemudian Maradia Maisi dan Maradia Malolo. Pernyataan
Pemangku Adat Suku Dampal dalam Laporan Hukum Adat Suku Dampal adalah suatu hal yang krusial menurut saya karena
isi pernyataan itu adalah
1. Terjadinya
asimilasi antar etnis dampal dengan etnis lain yang hadir di dampal yang
cenderung akan mempunyai budaya dominan terhadap kultur masyarakat suku dampal.
2. Hilangnya
jati diri Suku Dampal terhadap budayanya sendiri, khususnya yang berkenaan
dengan bahasa daerah (bahasa dampal) yang sudah berkurang penuturnya.
3. Tidak
diberdayakannya hukum adat suku dampal secara turun-temurun dan berkelanjutan.
Pada catatan kolonial Belanda selalu menyinggung bahwa dampal
merupakan bagian dari kerajaan Tolitoli sementara dalam tulisan Sofyan tentang
sojol melawan belanda menjelaskan adanya bala bantuan dari penguasa Dampal
untuk membantu kerajaan Sojol menghadapi kolonial belanda. Kemudian Tulisan Prof
Juraid Menegaskan bahwa pada era pra kolonial masyarakat Tolitoli umunya hidup
secara terpisah dalam kekuasan-kekuasaan yang otonom. Dondo Dampal terpisah
dari kekuasaan raja tolitoli. Tetapi penetrasi pengaruh dari luar mendorong
integrasi daerah dan kekuasaan.[iii]Sampai
disini telah jelas bahwa kerajaan Dampal telah menjadi bagian dari kerajaan
Tolitoli yang sebelumnya berdiri secara otonom.
Terlihat bahwa daerah otonom Dampal menyatu dalam Kerajaan
Tolitoli ketika Wafatnya Sultan Tolitoli
maka daerah Lais, Malomba, Tinabogan, Salumaraja ( bahasa lokal Ogodeide), dan
Dampal sebagai bentuk belasungkawa diberikan
kain putih, Beras dan uang dimana mereka juga menyampaikan ketundukannya pada
Sultan (Sumber Nota
Betreffende het Landschap Tolitoli). Perlu kajian lebih
lanjut mengenai sumber Belanda ini dari segi pemberian kepada kerajaan
tolitoli. Tentunya berhubungan dengan jalur rempah dan alternatif yang dilakukan para pelayar dan pedagang pada
masa itu.
Menurut cerita dari sumber lain mengatakan bahwa Dampal bahwa
keberadaan etnis dampal itu pada tahun 1600-an. Pendapat ini tentunya tidak
memiliki kekuatan dan dasar yang jelas. Mengapa, karena daerah ini telah dihuni
berabad lamanya sebelum pendatang dari Jazirah Sulawesi bagian selatan berlayar
dan menetap di dampal. Sebut saja etnis
Lauje dan Pendau yang ikut mewarnai sistem masyarakat di pesisir pantai teluk
dondo. Suku Lauje yang sering berpindah-pindah mencari lahan baru membuat
mereka melakukan perjalanan lagi menuju gunung sojol. Seperti yang kita ketahui
bahwa etnis lauje memiliki tradisi tersendiri dalam membuka lahan baru dan apabila lahan itu dirasa tidak dapat
memberikan kehidupan lagi maka mereka berpindah tempat yang sebelumnya
melakukan ritual adat dengan kepercayaan mereka akan togu petu, togu ogo dan
togo pomoyane.
Etnis Tolitoli dan Dondo juga telah menghuni daerah ini sebagai
identitas orang-orang lokal yang masih menjaga kearifan budayanya. Sistem
menempati sebuah negeri dari hulu ke hilir bukanlah hanya cerita dongeng semata
melainkan sistem ini telah terjadi sekitar beribu-ribu tahun yang lalu dan
membentuk peradaban pesisir pantai. Anggapan lain yang mengatakan bahwa
penduduk lokal tidak memiliki peradaban yang baik itu hanya sebuah argumen yang
tidak memiliki dasar yang cukup kuat sebab bagi penulis dalam setiap daerah
pasti memiliki peradaban masing-masing
tentang bagaimana membentuk dan mengatur masyarakatnya. Sistem keadatan
misalnya telah hadir di setiap daerah dan memiliki ciri khas tersendiri begitu
pula yang terjadi pada masyarakat adat dampal dengan budayanya. Jadi, mengapa
musti enggan dan merasa malu apalagi minder untuk mengangkat budaya lokal
sebagai jati diri dan identitas anda sebagai salah satu suku yang ada di
provinsi Sulawesi Tengah.
Kenyataannya
masyarakat adat suku dampal dahulunya telah menghuni Jazirah Pantai Barat
Sulawesi Tengah dan memiliki kebudayaan sendiri. Harfiahnya Dampal berasal dari kata “Dampaa”
yang berarti dataran luas. Masyarakat
adat suku Dampal menyebar dimulai dari Utara hingga selatan Dampal. Dikutip
dalam buku laporan pendataan hukum adat dondo
bahwa Penyebaran masyarakat Dampal yang demikian luasnya dapat dilihat
dari wilayah yang didiami serta berdasarkan tolak ukur tuturan bahasa
sehari-hari yang notabene menggunakan bahasa dampal. Dapat memberi arti bahwa
sejak dahulu kala pernah ada dominasi yang begitu kuat dari masyarakat adat
Dampal terhadap wilayah yang didiami oleh masyarakat adat Dampal.
Sekedar
Refleksi
Hemat saya adalah Bahasa dan Budaya ini mulai tergerus oleh zaman
jika tidak mendapatkan pertolongan pertama maka bisa jadi tak tertolong
lagi. Ibaratnya sebuah bentuk konkrit
yang ada akan tetapi sejarah dan budayanya telah hilang akibat tergerus oleh
yang konon katanya bahasa dan budaya modern. Tentunya sebagai para pemuda yang
terlahir dari rahim seorang ibu dampal perlu kiranya untuk melestarikan bahasa
dan budaya bahasa Dampal.
Perlu kiranya sebuah pertimbangan khusus untuk memenuhi harapan
rekonstruksi kembali bahasa dan budaya Dampal melalui kamus bahasa, peremajaan
nilai-nilai budaya dan adat-istiadat etnis dampal, dan pelestarian budaya
sebagai bentuk cagar budaya tak benda. Kesemua ini tentu berangkat dari
keinginan dan langkah pemuda daerah etnis dampal dan jangan menunggu bola untuk
bergerak. Dengan begitu bahasa lokal masuk dalam pembelajaran muatan lokal
disekolah-sekolah sehingga revitalisasi bahasa dan budaya dampal tercapai.
Akhir kata melalui narasi ini penulis ingin menyampaikan sebuah rasa prihatin kepada pemuda etnis dampal yang enggan untuk berbahasa lokal. Sementara di era sekarang pemerintah lebih cenderung memfokuskan programnya di bidang kebudayaan. Maka jadikan momentum kebudayaan nasional yang di adopsi langsung dari kebudayaan lokal untuk kembali menghadirkan bahasa dan budaya dampal sebagai identitas dan harus bangga menggunakan bahasa lokal itu demi menjaga kearifan lokal.
Dilarang Untuk Mengcopy Paste Tulisan ini tanpa mencantumkan Sumbernya (Budayakan Untuk Mencantumkan Sumber).
Penulis : MOHAMMAD ZASRIANSYAH, S.Pd (Founder/Ketua Komunitas)
[i] Muhammad Amir, 2019, Pelayaran Niaga Mandar Pada Paruh Pertama Abad ke-20.
[ii] Usman Suhudin DKK, Laporan Hasil Pendataan Hukum Adat Waris Suku Dampal Kab. Tolitoli
[iii] Djurait Abdoel Latif, Pemberontakan SI Salumpaga, Tolitoli 1919
Sumber
:
1. Muhammad
Amir, 2019, Pelayaran Niaga Mandar Pada
Paruh Pertama Abad ke-20. Walasuji, Makassar.
2. H. Usman
Suhudin DKK, 2006, Laporan Hasil
Pendataan Hukum Adat Waris Suku Dampal Kab. Tolitoli. Perpusnas RI
3. Djurait Abdoel Latif, 1996, Pemberontakan SI Salumpaga, Tolitoli 1919, Tesis, Yogyakarta: Pasca Sarjana
UGM
4. S. Van Ronkel, Nota Betreffende het Landschap Tolitoli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar